top of page
  • Writer's pictureFemmy Win

Menjaga Karang di Balik Coral Bleaching

Updated: Aug 3, 2020


Pulo Cinta, Gorontalo. Sumber gambar: pulocinta.com


Menilik Anugerah Pesona Biru

Birunya laut selalu menyimpan aura magis tersendiri. Rantai gelombang laut yang terus menari mengikuti alunan ritme angin yang mencubit. Menari dalam ketenangan. Menari hingga menyentuh ujung cakrawala di pelupuk mata. Menari hingga menyentuh andakarya di permulaan dan penguhujung hari. Berpadu dengan kesyahduan biru air dan langit. Nakalnya angin ikut mengusap siapa saja hingga tepian darat. Nuansa syahdu terus memupuk mantra sihir setiap kalbu yang datang berkunjung. Pekatnya kesyahduan biru lautan berhasil memutus gejolak hitamnya hati. Menyihir setiap hati untuk melupakan amukan emosi dan kembali mengagumi keagungan ciptaan Sang Maha Pencipta. Tanpa pernah menyapa dengan kata, lautan mampu menyunggingkan senyuman manis banyak insan dengan pesonanya. Keindahan lukisan Sang Pencipta tak pernah habis diungkapkan.

Terlalu banyak ungkapan kekaguman ketika melihat birunya laut. Biru yang tak mudah diungkapkan dan dilupakan. Namun, ungkapan saya masih miskin melihat ingatan segar saya berupa penjelajahan birunya laut di tengah daratan. Ya, danau. Saya baru mengunjungi dan mengagumi salah satu danau terbesar di Indonesia, Danau Ranau, di Sumatra Selatan. Tapi, eksotisme kebiruan yang syahdu nan terseling perbukitan hijau tak akan jauh berbeda dengan eksotisme laut lepas.

Banyak orang beruntung yang sudah bisa menikmati keindahan laut. Bahkan, beberapa orang sudah menjelajahi taman dasar laut. Menyelam berdampingan dengan jutaan aneka biota laut tropis. Mengenalkan mata akan pesona terumbu karang yang sungguh menawan. Berlarian di atas pasir pantai bak permadani suci. Bersuka ria merasakan deburan ombak yang meraba dengan lembut. Teringat saya ketika balita, saya berteriak histeris meminta pertolongan ketika ombak laut menyentuh kaki saya dengan tinggi ombak mencapai betis kaki seorang balita di Pantai Pangandaran, Jawa Barat.

Foto pribadi di tepi Danau Ranau, Sumatra Selatan


Namun, banyak pula orang yang mampu mengagumi keindahan birunya laut hanya melalui media elektronik, seperti foto dan video di internet, media sosial, atau televisi. Dengan beragam kendala, mereka belum bisa merasakan langsung keindahan pantai, danau, dan laut walaupun beberapa di antaranya juga tinggal di daerah tropis yang kaya akan pesona lautnya. Mereka tahu akan simpanan keindahan ekosistem laut hingga dasarnya. Penikmat sekunder ini juga bisa merasakan deburan ketenangan walaupun tidak langsung. Suatu saat nanti, mereka berhak mengunjungi laut dan menikmati keindahan birunya laut dengan panca indera sendiri sebagaimana seorang traveler senior yang berhak mengunjungi laut baru di waktu berikutnya. Tapi, akankah mereka yang belum beruntung ini bisa mendapatkan keindahan yang sama seperti mereka yang sudah beruntung di masa ini? Karena sejatinya dunia terus berubah. Bukan hanya roda kehidupan manusia saja yang terus berputar. Alam pun terus berubah, merespons perubahan kondisi yang terjadi. Utamanya, akibat ulah manusia yang terus kalap mengeksploitasi bumi dan ilmu pengetahuan tanpa diimbangi pembatas yang nyata agar alam tidak sakit.


Pekatnya Pemanasan Global

Hingga munculah sebuah padanan kata bencana global dibalik majunya teknologi dan ilmu pengetahuan justru semakin bertambah parah dan nyata mengganggu peri kehidupan bumi. Pemanasan global…..

Pemanasan global menjadi headline berita dunia lebih dari satu dekade ini. Juga, menjadi paduan makna yang tak asing bagi hampir seluruh penduduk dunia. Naas, tak semua orang kembali peduli dengan pemanasan global. Kesejahteraan pribadi menjadi pemikat mata dan hati nomor wahid daripada isu kesejahteraan dunia yang kini sudah di ujung tanduk akibat kejamnya pemanasan global. Apa mungkin isu ini sudah terlalu lama bertengger di puncak berita dan belum mengenal ujung pemecahan masalah? Hingga akhirnya waktu ikut meredam panasnya kobaran api pemanasan global dari headline pendengaran manusia. Isu yang jauh dari gapaian tangan telah kalah oleh isu mimpi pribadi yang selalu menjadi 5cm di depan mata. Ya, semakin banyak manusia yang kian tidak peduli dengan isu pemanasan global.


Kampanye penyelamatan bumi sudah banyak dikobarkan di banyak penjuru dunia. Namun, manusia yang hanya berlalu lalang melewati kampanye dengan hati datar juga banyak. Dunia ini sudah terlalu penuh oleh ambisi pribadi manusia. Dunia ini sudah terlalu sesak. Apakah hitamnya seluruh perairan bumi, panasnya bumi, merahnya langit, lenyapnya biota daratan lautan, dan menggunungnya permukaan laut akan langsung menyadarkan seluruh manusia? Sadar bahwa bumi kita sudah terlalu sakit untuk menampung manusia-manusia egois yang terlalu kalap. Sadar akan ucapan Benjamin Franklin bahwa ketika sumur kering, kita akan tahu pentingnya air. Apakah manusia harus menunggu hilangnya kebutuhan primer untuk segera memelihara bumi?

Laut yang Kian Merana

Bumi telah banyak kehilangan. Dirampas dengan pelukan hangat namun membara oleh suhu yang meninggi. Dirampas dengan membekaskan banyak luka menganga oleh tangan kecil manusia. Udara, darat, dan laut. Semuanya kian meradang di luar kenormalan. Namun, lautan lah yang menjadi episentrum akibat pemanasan global ini. Laut memiliki peran dominan dalam menyeimbangkan panas bumi. Tapi, bayarannya mahal. Laut menjadi korban yang paling serius akibat pemanasan global.

Laut menyerap satu per tiga CO2 yang dihasilkan manusia. Menurut Rod Fujita, Direktur Penelitian dan Pengembangan Program Laut EDF, kuantitas CO2 yang diserap laut diperkirakan sekitar 22 juta ton sehari. Laut juga banyak menyerap kelebihan panas akibat efek rumah kaca. Sekitar lebih dari 90% panas yang sudah diserap oleh laut sejak tahun 1970. Permukaan laut memanas 24% lebih cepat dari beberapa dekade yang lalu dengan rata-rata sebesar 0.11oC setiap dekade sejak tahun 1970-an.



Coral Bleaching. Sumber: reefcheck.or.id


Salah satu dampak nyata dari memanasnya laut adalah coral bleaching atau pemutihan karang. Coral bleaching terjadi akibat adanya perubahan suhu drastis, curah hujan, pola angin, runoff, radiasi sinar matahari tinggi, pasang-surut ekstrem, atau polusi. Menurut Imam Bachtiar, Dosen Biologi Universitas Mataram, kenaikan suhu yang melebihi suhu air tahunan maksimum selama empat minggu akan menyebabkan pemutihan karang dan kenaikan suhu lebih dari delapan minggu akan menyebabkan pemutihan karang massal. Suhu tinggi akan menghilangkan tabir surya pada algae yang menempel pada karang sehingga sinar UV banyak masuk ke dalam algae tersebut. Banyaknya sinar UV ini mengakibatkan algae memproduksi oksigen radikal yang merusak jaringan karang akibat fotosintesis yang tidak normal. Akibatnya, algae dikeluarkan dari karang dan karang kekurangan pasokan makanan karena algae ini yang menyuplai makanan karang sebanyak 70-90% sehingga karang mati kelaparan. Para ilmuwan memprediksi bahwa di tahun 2050 laut akan terlalu panas untuk karang. Selain itu, aktivitas manusia, seperti penangkapan ikan dengan tidak ramah lingkungan, pariwisata tidak berkelanjutan, dan pencemaran limbah ke laut juga ikut menambah kerentanan akan terjadinya pemutihan karang. Tumpahan minyak dan jangkar dari aktivitas transportasi laut juga meningkatkan kerentanan karang.

Dalam laporan NOAA atau National Oceanic and Atmospheric Administration bahwa Indonesia akan mengalami serangan pemutihan karang pada awal tahun 2019. Pada Januari 2019, terjadi pemutihan karang di laut Jawa, yaitu terumbu karang di Kepulauan Seribu dan Karimun Jawa. Pada Maret 2019, terjadi pemutihan karang di Selat Bali, Lombok, dan Alas. Pada tanggal 17 Maret hingga 14 April terjadi pemutihan karang alert level 2 yang menyebabkan kematian karang secara massal. Pemutihan karang ini sudah terjadi sebanyak empat kali dari tahun 1983 hingga 2019 dengan jarak siklus pemutihan karang semakin memendek dari 15, 12, 6 hingga 3 tahun. Keempat siklus pemutihan karang ini menyebabkan kematian massal karang di Selat Lombok, terutama di Gili Matra dan Sekotong. Bahkan, terumbu karang sudah lenyap di beberapa tempat.

Cuaca ekstrem semakin sering terjadi sekarang ini sebagai akibat peningkatan suhu air laut. Cuaca ekstrem juga mengakibatkan pemutihan karang. Lembaga LIPI mencatat bahwa dalam 25 tahun terakhir telah terjadi 4 El Nino yang disertai pemutihan karang. Pemutihan karang akibat El Nino juga terjadi sejak tahun 1982-1983 di Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Sunda. Pada tahun 1997-1998 juga terjadi pemutihan karang akibat El Nino di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa dengan kerusakan 60-70%, serta kerusakan karang di Sumatra bagian Selatan akibat penurunan suhu air di bawah 26oC. Pada tahun 2010, terjadi pemutihan karang di Kepulauan Natuna, Kepulauan Riau, dan sekitar Aceh. Pada tahun 2016, terjadi pemutihan karang di Sumatra bagian Barat, Pantai Selatan Jawa, Bali, Lombok, NTB, dan NTT. Di tahun yang sama, The Great Barrier Reef, Australia, mencatat fenomena pemutihan karang terburuk.

Pemutihan karang menyebabkan kehancuran terumbu karang karena kematian karang bisa mencapai 80-90% setelah pemutihan. Ulah manusia juga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Pengeboman laut, aktivitas perahu yang asal menaruh jangkar, pariwisata laut yang masif ikut menyebabkan karang patah. Kerusakan terumbu karang ini mengusir banyak ikan. Beberapa nelayan mengaku harus melaut lebih jauh guna mencari ikan, cumi, atau lainnya.



Foto pemutihan karang. Sumber: mongabay.co.id


Menjaga Karang di Balik Coral Bleaching

Kerusakan terumbu karang sudah masif dan terhampar di depan mata. Tapi, masih banyak taman terumbu karang lain yang masih kuat bertahan hidup. Kembali lagi ke pertanyaan semula. Akankah mereka yang belum beruntung ini bisa mendapatkan keindahan yang sama seperti mereka yang sudah beruntung di masa ini?

LIPI menyatakan bahwa fenomena pemutihan karang sulit bahkan tidak bisa dihindari. Namun, kualitas karang yang baik dengan tutupan di atas 50% dapat meningkatkan ketahanan karang. Rehabilitasi karang membutuhkan waktu yang sangat lama. Untuk tutupan karang, dibutuhkan waktu 7-10 tahun dan keanekaragaman karang lainnya membutuhkan waktu yang lebih lama. #JagaLaut merupakan kewajiban bersama guna mempertahankan eksotisme negara tropis ini.

Dilansir dari acara Talk Show Ruang Publik KBR dalam judul Menjaga Laut di Tengah Pandemi, tuntutan memutus rantai pandemi Covid-19 untuk berdiam diri di rumah dan pembatasan tempat serta transportasi umum memberikan keberkahan bagi kesejahteraan laut. Laut mendapatkan ketenangannya kembali untuk meremajakan dirinya lagi. Daerah laut menjadi lebih bersih dan terjaga, ikan kembali banyak bermunculan, dan nelayan kembali mendapatkan ikan yang lebih banyak. Kualitas air lebih murni akibat berkurangnya limbah industri.  

Melestarikan Laut setelah Pandemi

Kita mampu merawat laut. Bukan hanya di masa pandemi ini dengan tanpa sengaja kesejahteraan laut kembali ke pangkuannya. Laut harus terus tersenyum ketika pandemi telah usai dan pembatasan sosial telah sirna. Manusia harus menjadi manusia. Rasa cinta yang teranugerahkan harus selalu diberikan kepada sesama dan alam. Berikut beberapa cara untuk terus melestarikan laut setelah pandemi.

1. Edukasi

Nilai cinta dan tanggung jawab terhadap alam harus dapat diinternalisasikan kepada semua pihak. Wisatawan, penduduk lokal, dan nelayan memegang peran yang cukup penting untuk menjaga laut secara langsung. Pemberian edukasi juga harus diberikan secara intensif kepada semua pelanggar yang tertangkap atas tindakan merusak laut karena menindak tanpa edukasi hanya akan kembali ke lubang yang sama. Edukasi yang diberikan harus dapat meningkatkan kemampuan individu untuk melakukan personal rule yaitu deskripsi verbal atas suatu keadaan yang kontingensi atau tidak pasti diberikan kepada diri sendiri untuk bisa memengaruhi tingkah laku orang tersebut.

2. Kampanye cinta laut dengan pemberian hadiah

Kampanye cinta laut dapat dilakukan dalam berbagai cara kreatif, seperti sering mengadakan gerakan pembersihan laut dari sampah dengan pemberian apresiasi berupa hadiah kepada seluruh partisipan, gerakan rehabilitasi laut seperti penanaman karang baru atau penanaman pohon mangrove yang melibatkan seluruh pihak yang juga disertai pemberian hadiah.

3. Membuat regulasi

Regulasi yang disertai instruksi cara bertingkah laku di daerah laut penting untuk dibuat karena manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti sebuah instruksi sesuai dengan konsekuensi setelah mengikuti instruksi tersebut.

4. Membuat hukuman kepada pelanggar

Banyak pelanggar di Indonesia yang sulit untuk ditegur karena kurangnya mentalitas. Pemberian hukuman merupakan cara cepat untuk mengubah tingkah laku seseorang. Tapi, hukuman harus memenuhi beberapa syarat agar lebih efektif. Jenis hukuman harus jelas mengikuti jenis hukuman, yaitu hukuman positif berupa menghadirkan sesuatu yang tidak disukai seperti membayar denda dengan nominal yang cukup besar dan hukuman negatif berupa menghilangkan sesuatu yang disukai seperti penyitaan perahu bagi nelayan yang terciduk mengebom laut. Pengawasan laut harus dilakukan secara konsisten karena hukuman bisa menjadikan individu tidak melakukan pelanggaran hanya jika terdapat pemberi hukuman dan melakukan pelanggaran jika pemberi hukuman tidak ada. Strategi untuk memaksimalkan efektivitas hukuman adalah pemberian secara langsung, konsisten, jenis hukuman harus cukup intens untuk bisa menekan perilaku pelanggar, hukuman disertai penjelasan, dan hukuman diikuti oleh pemberian hadiah untuk perilaku mencintai lingkungan

Akankah mereka yang belum beruntung ini bisa mendapatkan keindahan yang sama seperti mereka yang sudah beruntung di masa ini? Ya, semua orang berhak mengagumi keindahan pesona laut di masa ini dan masa yang akan datang. Pemutihan karang merupakan suatu siklus alam, tapi manusia juga berperan penting akan melindungi ketahanan karang atau melumpuhkan ketahanan karang. Kita semua wajib menjaga laut karena salah satu cara bersyukur adalah menjaga. Jangan hanya memiliki destinasi wisata bahari Pulo Cinta, kita juga wajib mencintai laut.    


Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini 

Referensi

LIPI. (n.d.). Pemutihan karang (bleaching coral) dan kejadian bleaching tahun 2016. Diakses melalui http://coremap.or.id/berita/1172

WWF Australia. (2018). Effects of global warming on our oceans. Diakses melalui https://www.wwf.org.au/what-we-do/oceans/effects-of-global-warming-on-our-oceans#gs.9j0trn

Fujita, R. (2018). 5 ways climate change is affecting our oceans. Diakses melalui https://www.edf.org/blog/2013/10/08/5-ways-climate-change-affecting-our-oceans

Borunda, A. (2019). Ocean warming, explained. Diakses melalui https://www.nationalgeographic.com/environment/oceans/critical-issues-sea-temperature-rise/

WWF. (n.d.). How climate change relates to oceans. Diakses melalui https://www.worldwildlife.org/stories/how-climate-change-relates-to-oceans

Reef Check. (2016). Coral bleaching Indonesia. Diakses melalui http://reefcheck.or.id/bleaching-indonesia/


Powell, R. A., Honey, P. L., & Symbaluk, D. G. (2016).Introduction to learning and behavior. Cengage Learning.


13 views

Recent Posts

See All
bottom of page